Mendengar kata matematika bagi
sebagian orang mungkin merupakan hal yang menakutkan, tak jarang mereka
menganggap matematika sebagai musuh no 1 untuk mata pelajaran di
sekolah. Belum lagi guru yang mengajarkan nya pun membuat para siswa
ketar-ketir, hal itu pernah saya alami juga sewaktu sekolah menengah.
Memang sewaktu Sekolah dasar, aku selalu terpilih sebagai wakil untuk
lomba yang berkaitan dengan matematika, tapi itu cuma sebatas wakil
kelas, gak lebih dari itu!. Selalu kalah jika ditandingkan dengan
kelas-kelas lain yang ada disekolah tersebut.
Aku ini merupakan orang yang pemalas, tak pernah rela duduk sekitar 1-4
jam hanya untuk belajar ataupun menghafal. Hal ini juga yang membawa
aku menjadikan matematika sebagai musuh utama dalam mata pelajaran,
disamping Biologi tentunya. Pernah suatu hari di SMA, aku dipanggil guru
matematika untuk mengerjakan sebuah soal matematika di depan kelas,
soalnya tak sulit kok cuma tulis akar 2 menjadi bilangan berpangkat
dengan bilangan pokoknya 2. Rasa cemas ditambah gugup menghampiri aku
saat akan maju ke depan kelas untuk menyelesaikan, hampir 15 menit aku
hanya melongo ke papan tulis karena tak tahu cara untuk menjawabnya.
Jangankan untuk bertanya kepada teman, menengok ke belakang saja tak
berani karena sang guru terus memperhatikan aku. Lama-lama guru itu pun
kesal dan dia bilang, "Masa kamu ga bisa ngejawab pertanyaan gampang
tadi?, suka belajar ga di rumah?". Ya dengan polosnya aku cuma jawab,
"gak bisa bu". Guru itu pun terlihat kesal, lalu dia berbicara kepada
murid yang lainnya,"hey, coba kalian jawab, apa jawabannya?". "2 pangkat
setengah bu", dengan kencang mereka semua menjawab itu, dan hal itu
ibarat pukulan telak bagiku, dan bertanya kepada diri sendiri, "Apakah
aku sebodoh ini? Apa Tuhan menciptakan ku menjadi seseorang yang bodoh?
tapi aku rasa Tuhan tak akan seperti itu". Oke lanjut, akhirnya aku
disuruh duduk kembali setelah hampir setengah jam diam didepan kelas.
Setelah kejadian itu tidak ada yang berubah dari diriku, tetap saja
malas dan banyak main. Sekedar informasi aku memilih program IPA di SMA,
hal itu tentunya merupakan sebuah paksaan yang halus dari kedua orang
tua ku, tapi jika dipikir benar juga aku harus masuk IPA, tapi bukan
karena pintar melainkan aku yang malas belajar pastinya akan lebih
terseret jika ada di IPS yang notabene banyak hafalannya. Masih ingat
waktu itu pembelajaran matematika telah masuk pada bab trigonometri,
Anda tahu sendirilah betapa sulitnya bab yang satu ini, tapi anehnya aku
mulai menyukai matematika gara-gara trigonometri.
Hari itu seperti biasanya saya pulang sekolah dan bersiap-siap untuk
main, tapi anehnya saya ingin mengerjakan PR terlebih dahulu, PR nya
adalah 30 soal tentang trigonometri. Untuk mengerjakan soal awal-awal
aku bisa mengerjakannya, karena melihat contoh di buku paket. Tapi untuk
5 soal yang akhir meliahat soalnya pun pusing nya minta ampun. Aku coba
mengerjakannya, aku otak-atik, terus coba dengan rumus yang ada dan
akhirnya terkerjakan juga meski dengan waktu yang cukup lama.
keesokan
harinya, semua siswa memperbincangkan PR tersebut dan mereka
bertanya-tanya, bagaimana ini 5 soal yang terakhir (intinya begitu
saja), aku yang baru datang hanya bilang, "aku sudah kok". Dan mereka
terperangah mendengarnya, "lho kok bisa, nyontek dimana? orang yang
rangking satu pun tak bisa menjawabnya lho", celetuk seseorang. Aku
sedikit berbohong dengan menjawab ,"dibantu temen kok". tapi dalam hati
senengnya bukan main, bagaimana tidak, tak seorang pun dikelas yang bisa
menjawab soal tersebut dan hanya aku orangnya.
Setelah aku berpikir, aku menemukan sebuah kesimpulan, matematika itu
ada karena proses berpikir, berpikir itu ada karena mencoba, mencoba itu
ada karena keinginan, dan keinginan itu ada karena ada rasa
ketertarikan.
0 komentar:
Posting Komentar